Jumat, 22 Maret 2013

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Hipertensi Pulmonal adalah tekanan arteri pulmonalis lebih dari 15 mmHg saat beristirahat dan lebih dari 30 mmHg saat beraktivitas. HP dibagi menjadi 2 yaitu idiopatik atau primer yang tidak diketahui penyebabnya dan HP sekunder yang penyebabnya dapat diidentifikasi (Park, 2002). HP adalah jenis penyakit fatal yang menyerang banyak orang pada usia produktif. Angka kejadian pada perempuan dua setengah kali lipat dibanding laki-laki. Pada kasus hipertensi pulmonal primer, penyakit ini diturunkan, atau terkait faktor genetik (Barst, 1999). Meski diakui, meluasnya penyakit hipertensi pulmonal saat ini kurang diketahui, namun diperkirakan sekitar 1-2 juta orang per tahun terdiagnosis menderita penyakit ini. Bahkan, angka yang sebenarnya diprediksi lebih tinggi mengingat diagnosis penyakit ini masih minim.(wanita ) Di Indonesia dan kawasan Asia Pasifik, hipertensi pulmonal kurang terdiagnosis dan kurang pengobatan antara lain faktor kurangnya kesadaran mengenai penyakit ini. Mereka yang menderita hipertensi pulmonal kebanyakan tidak terobati. Bahkan penderita tidak sadar bahwa mereka terkena penyakit berbahaya ini, tidak tahu tentang pengobatan yang dapat meningkatkan harapan hidup dan memberi kualitas hidup yang lebih baik. Di Indonesia dan kawasan Asia Pasifik, hipertensi pulmonal kurang terdiagnosis dan kurang pengobatan antara lain karena faktor kurangnya kesadaran mengenai penyakit ini. Mereka yang menderita hipertensi paru kebanyakan tidak terobati. Bahkan penderita tidak sadar bahwa mereka terkena penyakit berbahaya ini, tidak tahu tentang pengobatan yang dapat meningkatkan harapan hidup dan memberi kualitas hidup yang lebih baik. kendala lain adalah banyak gejala yang dikaitkan dengan hipertensi paru ternyata tidak spesifik mengarah pada hipertensi paru, sehingga tak heran diagnosis penyakit ini kian sulit saja. Angka kejadian HP belum jelas. Beberapa laporan menyebutkan angka kejadian mendekati 0,2% dari seluruh anak yang menderita kelainan jantung, sementara laporan lain memperkirakan 1,6%. Penelitian di Amerika memperkirakan 1-2 kasus baru tiap 1 juta populasi dengan rasio jenis kelamin laki – laki : perempuan 1,8 : 1.3 Saat ini patofisiologi HP sedikit terkuak, sehingga pengobatan lebih menjanjikan. Modalitas terapi seperti obat – obatan yang berkembang pesat dan tindakan pembedahan dapat meningkatkan kualitas hidup dan prognosis penderita.1,3 Untuk itu kelompok ingin mempelajari hipertensi pulmonal secara teoritis dan asuhan keperawatan pada pasien hipertensi pulmonal agar menambah ilmu pengetahuan sehingga pada akhirnya angka kejadian hipertensi pulmonal bisa menurun (Barst, 1999). 1.2 Tujuan 1.2.1 Tujuan Umum Mengetahui dan memahami bagaimana membuat asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan hipertensi pulmona. 1.2.2 Tujuan Khusus a. Mengetahui dan memahami definisi hipertensi pulmonal. b. Mengetahui dan memahami etiologi hipertensi pulmonal. c. Mengetahui dan memahami patofisiologi hipertensi pulmonal. d. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada klien dengan hipertensi pulmonal. e. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan klien dengan hipertensi pulmonal. f. Mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan dari hipertensi pulmonal, meliputi : pengkajian, diagnosa keperawatan, perencananaan intervensi keperawatan, implementasi, evaluasi. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Hipertensi Pulmonal Hypertensi Pulmonary atau yang biasa disebut Hipertensi Paru merupakan kondisi yang tidak terlihat secara klinis sampai pada tahap lanjut kemajuan penyakitnya. Penyakit ini ditandai dengan peningkatan tekanan darah pada pembuluh darah arteri paru-paru yang menyebabkan sesak nafas, pusing dan pingsan pada saat melakukan aktivitas. Berdasar penyebabnya hipertensi pulmonal dapat menjadi penyakit berat yang ditandai dengan penurunan toleransi dalam melakukan aktivitas dan gagal jantung kanan. Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Dr Ernst von Romberg pada tahun 1891. Awalnya PH diklasifikasikan menjadi hipertensi pulmonal idiopatik (IPAH, atau hipertensi pulmonal primer) dan PH sekunder. 1. Primer Merupakan hipertensi pulmonal yang tidak diketahui penyebabnya. Keadaan ini paling sering terjadi pada usia 20 tahun sampai 40 tahun. Dan biasanya fatal dalam 5 tahun diagnosis. Hipertensi pulmonal primer lebih sering didapatkan pada perempuan dengan perbandingan 2:1, angka kejadian pertahun sekitar 2-3 kasus per 1 juta penduduk, dengan mean survival dari awitan penyakit sampai timbulnya gejala sekitar 2-3 tahun. 2. Sekunder Merupakan bentuk yang lebih umum dan diakibatkan oleh penyakit paru atau jantung yang diderita oleh klien. Penyebab yang paling umum dari hipertensi pulmonal sekunder adalah konstriksi arteri pulmonar akibat hipoksia karena penyakit paru obstruksi kronik (PPOK), obesitas, inhalasi asap dan kelainan neuromuskular. Namun kemudian diketahui bahwa beberapa hipertensi pulmonal sekunder sangat mirip dengan IPAH dalam hal gambaran histopatologis, natural history, dan respon terhadap terapi. Jadi, berdasarkan mekanisme penyakitnya, WHO kemudian membagi hipertensi pulmonal menjadi 5 kelas a. Hipertensi Arteri Pulmonal (PAH). Gambaran hemodinamik kelompok ini adalah:  Mean pulmonary artery pressure (MPAP) >25 mmHg pada istirahat, atau > 30 mmHg pada aktivitas fisik, dan  Pulmonary capillary wedge pressure (PCWP) > 15 mmHg, dan  Peningkatan tahanan vaskular pulmonal dan gradien transpulmonal (gradien tekanan tekanan diastolik arteri pulmonal dan PCWP) b. Hipertensi Vena Pulmonal. Kelompok ini disebabkan oleh kelainan pada atrium kiri, ventrikel kiri atau katup jantung kiri. c. Hipertensi pulmonal yang berhubungan dengan penyakit paru-paru atau hipoksemia. Penyebabnya antara lain penyakit paru interstitial, PPOK, sleep-disordered breathing, kelainan hipoventilasi alveoli, dan sebab-sebab lain dari hipoksemia. d. Hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh penyakit trombotik dan embolik kronis. Pada kelompok ini penyebab PH adalah oklusi trombus di proksimal atau distal pembuluh darah paru (misalnya penyakit tromboembolik kronis), atau emboli pulmonal nontrombotik (misalnya schistosomiasis). e. Hipertensi Pulmonal pada kelompok ini disebabkan oleh inflamasi, obstruksi mekanis, atau kompresi ekstrinsik pada pembuluh darah paru (misalnya pada sarcoidosis, histiocytosis X, dan fibrosing mediastinitis) (Walditz A, 2003). 2.2 Etiologi 1. Hipertensi pulmonal pasif Agar darah dapat mengalir melalui paru dan kemudian masuk ke dalam vena pulmonalis, maka tekan dalam arteri pulmonalis harus lebih tinggi daripada vena pulmonalis. Dengan demikian, maka setiap kenaikan tekanan dalam vena pulmonalis seperti pada stenosis mitral, insufisiensi mitral dan ventrikel kiri yang hipertrofi akan menyebabkan peningkatan tekanan dalam arteri pulmonalis pula. 2. Hipertensi pulmonal reaktif Sebagai reaksi akibat peningkatan dalam vena pulmonalis maka pada beberapa penderita terjadi vasokonstriksi arteriol pulmonal yang aktif. Vasokonstriksi ini menyebabkan resistensi terhadap pengaliran darah melalui paru bertambah besar dan tekanan dalam arteri pulmonalis meningkat, misal pada penderita dengan stenosis mitral yang berat dan kadang-kadang pada penderita dengan insufisiensi mitral atau dengan gagal jantung kiri. Faktor penyebab ini dihubungkan pula dengan faktor familial. 3. Aliran darah dalam paru yang meningkat Peningkatan aliran darah paru yang sedang, bila disertai dengan dilatasi pembuluh darah paru dan terbukanya lubang saluran yang sebelumnya telah menutup, maka dapat berlangsung tanpa terjadi peningkatan tekanan dalam arteri pulmonalis. Kalau aliran darah itu lebih besar misalnya sampai lebih 3 kali yang normal, maka akan diperlukan tekanan yang lebih besar dalam paru agar pengaliran darah dapat berlangsung. 4. Vaskularisasi paru yang berkurang Bila dua pertiga atau lebih dari vaskularisasi paru mengalami obliterasi maka diperlukan peningkatan tekanan dalam arteri pulmonalis supaya tetap ada aliran yang adekuat, misalnya pada kelainan dengan embolus paru yang berulang-ulang sehingga menyumbat arteri dan arteriol dalam paru. Pada penyakit paru yang luas seperti enfisema, fibrosis pada paru yang luas dan pada hipertensi pulmonal idiopatik (Walditz A, 2003). 2.3 Manifestasi Klinik Gejala yang timbul biasanya berupa : a. Sesak nafas yang timbul secara bertahap Untuk meningkatkan secara bertahap atau mendadak nafas dan kebutuhan udara bagi tubuh, pasien mengalami nafas pendek dan haus udara. Terjadi hiperventalasi (napas cepat dan dalam). b. Kelemahan c. Batuk tidak produktif d. Pingsan atau sinkop Pasien mengeluh berkunang-kunang, telinganya mendenging atau sering pingsan. Munculnya memar-memar menunjukkan episode sinkope. Wajah pasien merah panas dan merasa lemah lesu. e. edema perifer (pembengkakan pada tungkai terutama tumit dan kaki) Pembengkakan pada tungkai terutama tumit dan kaki, terutama pada pagi hari dan sore hari mengalami perbaikan. Pemasukan garam menyebabkan retensi cairan. Terjadi selisih berat badan antara oedema dan tidak. f. Gejala yang jarang timbul adalah hemoptisis (batuk berdarah) Tanda hipertensi pulmonal berupa : - Distensi vena jugularis - Impuls ventrikel kanan dominan - Komponen katup paru menguat. g. S3 jantung kanan - Murmur trikuspid - Hepatomegali Kelainan hepatomegali terjadi karena peningkatan kerja jantung kanan untuk memompakan darah ke paru melalui resistensi arteri pulmonal yang meningkat, sehingga terjadi hipertrofi dan dilatasi dari ventrikel kanan Karena pada hipertensi pulmonal, curah jantung berkurang maka terjadi penimbunan darah yang abnormal dalam ventrikel kanan sehingga kemungkinan untuk mengalami gagal jantung kanan dapat terjadi setiap saat. Kelelahan, dispnoe, angina pektoris, kejang dan sinkop merupakan gejala yang umumnya ditemukan. Edema biasanya terlihat pada keadaan yang lanjut, sedangkan hemoptisis terjadi akibat adanya infark atau robeknya pembuluh darah yang abnormal dalam paru. Pada pemeriksaan fisis ditemukan anggota gerak yang dingin, sianosis perifer, nadi dengan amplitudo yang kecil, tekanan vena jugularis meningkat, aktivitas daerah jantung kanan bertambah, komponen pulmonal bunyi jantung II mengeras, terdengar pula “pulmonary ejection click” dan bising sistolik ejeksi, bising pansistolitik pada daerah tricuspid, bising mid-diastolik pada sisi tulang sternum sebelah kiri dan terdapatnya irama derap atrium pada daerah tricuspid (Oudiz RJ, www. emedicine. com/ med/ topic1962.htm ) . 2.4 Pathway 2.5 Komplikasi - Gagal jantung kanan - Gagal napas 2.6 Penatalaksanaan 2.6.1 Pemeriksaan non invasif Pertama kali mencurigai klinis HPP, harus lakukan pemeriksaan konfirmasi dan pemeriksaan untuk mengeklusi tipe lain penyebab hipertensi pulmonal, disamping untuk menentukan beratnya atau prognosis. Baru-baru ini suatu consensus merekomendasikan pemeriksaan untuk HPP. a. Ekokardiografi Pada pasien yang secara klinis dicurigai hipertensi pulmonal, untuk diagnosis sebaiknya dilakukan ekokardiografi. Ekokardiografi adalah modalitas diagnostic untuk evaluasi atau eklusi penyebab HP sekunder (seperti gagal ventrikel kiri, penyakit jantung katup, penyakit jantung kongenital dengan shunt sistemikpulmonal dan disfungsi diastolik ventrikel kiri). Disamping itu untuk menentukan beratnya hipertensi pulmonal serta prognosisnya. Dua studi besar yang dilakukan oleh Yeo et all dan Raymon et all menggunakan ekokardiografi untuk konfirmasi diagnosis dan prognosis pasien HPP. Namun demikian ekokardiografi saja tidak cukup adekuat untuk konfirmasi definitif ada atau tidaknya hipertensi pulmonal. Untuk itu direkomendasikan untuk kateterisasi jantung. b. Tes Berjalan 6 Menit Pemeriksaan yang sederhana dan tidak mahal untuk keterbatasan fungsional pasien HP adalah dengan tes ketahanan berjalan 6 menit (6WT). Ini digunakan sebagai pengukur kapasitas fungsional pasien dengan sakit jantung, memiliki prognostik yang signifikan dan telah digunakan secara luas dalam penelitian untuk evaluasi pasien HP yang diterapi. 6WT tidak memerlukan ahli dalam penilaian. c. Tes Latihan Kardiopulmunal (CPET) Suatu tes noninvasive. Pemeriksaan ini juga prognostik yang signifikan, karena mengukur performen kardiovaskuler dan ventilator saat aktifitas. Menariknya, tekanan darah sistolik menunjukan prediktor independen kematian pasien HP yang tidak diobati, dengan SBP < 120 mmHg berkorelasi dengan kematian yang tinggi dibandingkan dengan SBP > 120 mmHg. Miyamota and colleagues membandingkan kedua cara penilaian diatas 6MWT dan CPET dalam suatu kohor 27 pasien HPP, mereka menemukan suatu korelasi yang bagus antara konsumsi oksigen maksimum dan ketahanan 6MWT. Maka meskipun 6MWT tes latihan yang submaksimal, tetapi ditoleransi oleh mayoritas pasien HPP dan berkorelasi dengan tes latihan maksimal. Pada pasien dengan HAP, CPET dapat mengukur beratnya HAP dengan menilai gangguan kardiovaskuler dan inefisiensi ventilasi. Penurunan konsumsi oksigen (peak VO2) dan meningkatnya inefisiensi ventilasi adalah proporsi beratnya HP, merefleksikan ketidakmampuan pasien HAP secara adekuat meningkatkan aliran darah paru selama aktifitas. d. Tes Fungsi Paru Pengukuran kapasitas vital paksa (FVC) saat istrahat, volume ekspirasi paksa 1 detik (FEV1), ventilasi volunter maksimum (MVV), kapasitas difusi karbon monoksida, volume alveolar efektif, dan kapasitas paru total adalah komponen penting dalam pemeriksaan HP, yang dapat mengidentifikasi secara signifikan obstruksi saluran atau defek mekanik sebagai faktor kontribusi hipertensi pulmonal. Tes fungsi paru juga secara kuantitatif menilai gangguan mekanik sehubungan dengan penurunan volume paru pada HP. e. Radiografi Torak Karena radiografi torak adalah noninvasif dan tidak mahal, pasien dengan sesak yang tidak jelas biasanya di skrining dengan radiografi torak. Ro torak sama pentingnya sebagai first-line tes skrining pada pasien PAH untuk melihat penyebab sekunder, seperti penyakit interstisial paru dan kongesti vena-vena paru. Hampir 85 % terdapat kelainan Radiografi torak pada HP, seperti pembesaran ventrikel kanan dan/atau atrium kanan, dilatasi arteri pulmonal. Tapi tidak biasanya abnormalitas yang spesifik pada HPP Gambar 5. Radiografi Torak Pasien Hipertensi Pulmonal f. Eletrokardiografi Gambaran tipikal EKG pada pasien hipertensi pulmonal sering menunjukan pembesaran atrium dan ventrikel kanan, strain ventrikel kanan, dan pergeseran aksis ke kanan, yang juga memiliki nilai prognostik. Kelainan EKG saja bukanlah indikator yang sensitif untuk penyakit vaskuler paru. Penggunaan perubahan EKG sebagai marker progresi penyakit dan atau respon terapi belum ada dilaporkan. Gambar 6. EKG Pasien Hipertensi Pulmonal g. CT Scan Resolusi Tinggi CT scan dilakukan hanyalah untuk membedakan apakah primer atau sekunder. Tanpa zat kontras, untuk menilai parenkim paru seperti bronkiektasi, emfisema, atau penyakit interstisial. Dengan zat kontras untuk deteksi dan atau melihat penyakit tromboemboli paru (Park MK, 2002). 2.6.2 Pemeriksaan invasif a. Tes Vasodilator Vasoreaktifitas adalah suatu bagian penting untuk evaluasi pasien HAP, pasien yang respon dengan vasodilator terbukti memperbaiki survival dengan menggunakan blok kanal kalsium (CCB) jangka panjang. Definisi respon (European Society of Cardiology consensus) adalah penurunan rata-rata tekanan arteri pulmonal paling < 10 mm Hg dengan peningkatan kardiak output. Tujuan primer tes vasodilator adalah untuk menentukan apakah pasien bisa diterapi dengan CCB oral. Rich et al 1992, mempelajari 64 pasien HPP dengan nifedipin oral (20 mg) atau diltiazem (60 mg), penurunan 20% mPAP dan PVR. Groves et al, 1993, mempelajari respon akut epoprostenol iv pada 44 pasien HPP, peningkatan 14% HR, 5% penurunan mPAP, 47% penigkatan CO, dan 32% penurunan PVR. Respon dengan epoprostenol iv juga dapat memprediksi respon dengan CCB oral. Sitbon et al mengevaluasi 35 pasien terhadap respon vasodilator epoprostenol iv, penurunan 30% PVR. Sitbon 1998, melaporkan hasil tes NO inhalasi (10 ppm) 33 pasien, penurunan mPAP dan PVR 20%. 10 dari 33 pasien yang respon akut positif juga respon dengan CCB, pasien yang tidak respon akut dengan NO juga tidak respon dengan CCB. b. Biopsi paru Jarang dilakukan karena sangat riskan pada pasien hipertensi pulmonal, biopsi paru di indikasikan bila pasien yang diduga HPP, dengan pemeriksaan standar tidak kuat untuk diagnosis definitif (Park MK, 2002). 2.6.3 Laboratorium Pasien-pasien yang diduga hipertensi pulmonal harus dilakukan pemeriksaan laboratorium standar untuk dispnue, yang meliputi pemeriksaan analisa gas darah, pemeriksaan kimia dan darah lengkap. Pemeriksaan HIV direkomendasikan pada pasien dengan faktor resiko. Dilaporkan bahwa hipertensi pulmonal sehubungan dengan infeksi HIV 100 kali lebih sering dibandingkan dengan HPP. Tes fungsi hati juga harus dilakukan untuk eklusi suatu hipertensi portopulmonal disamping untuk pemberian terapi. - Biomarkers Biomarker serum yang telah dipelajari dalam menilai prognosis HPP adalah atrial naturetic peptide (ANP), brain naturetic peptide (BNP), dan katekolamin. Nagaya dan kolega mempelajari 63 pasien HPP antara 1994-1999; ANP dan BNP plasma rendah pada kontrol dan meningkat sesuai fungsional klas pada pasien dengan HPP. ANP dan BNP juga berkorelasi dengan mRAP, mPAP, CO, and TPR. Penelitian tambahan, setelah 3 bulan terapi dengan prostasiklin, 53 pasien terjadi penurunan BNP yang berkorelasi dengan penurunan RVEDP dan TPR (Park MK, 2002). 2.6.4 Pengobatan Pengobatan hipertensi pulmonal bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi jantung kiri dengan menggunakan obat-obatan seperti : diuretik, beta-bloker dan ACE inhibitor atau dengan cara memperbaiki katup jantung mitral atau katup aorta (pembuluh darah utama). Pada hipertensi pulmonal pengobatan dengan perubahan pola hidup, diuretik, antikoagulan dan terapi oksigen merupakan suatu terapi yang lazim dilakukan, tetapi berdasar dari penelitian terapi tersebut belum pernah dinyatakan bermanfaat dalam mengatasi penyakit tersebut. - Obat-obatan vasoaktif Obat-obat vasoaktif yang digunakan pada saat ini antara lain adalah antagonis reseptor endotelial, PDE-5 inhibitor dan derivat prostasiklin. Obat-obat tersebut bertujuan untuk mengurangi tekanan dalam pembuluh darah paru. Sildenafil adalah obat golongan PDE-5 inhibitor yang mendapat persetujuan dari FDA pada tahun 2005 untuk mengatasi hipertensi pulmonal. Untuk vasodilatasi pada paru, ada beberapa obat-obatan yang dapat digunakan. Antara lain Beraprost sodium (Dorner), infus PGI, Injeksi lipo PGE-1, ACE Inhibitor, Antagonis Kalsium dan Inhalasi NO. Beraprost sodium efeknya tidak hanya sebagai vasodilator, tetapi juga efek pleiotropik, seperti menghambat agresi platelet, mencegah cedera sel endotel dan memperbaiki cedera sel endotel. Pasien yang diberikan Beraprost, memiliki harapan hidup yang lebih baik (86%) dibandingkan yang tidak diberi Beraprost (75%). Hal ini karena Beraprost bekerja sebagai vasodilator yang menurunkan curah jantung dan ini mengurangi beban ventrikel kanan, menghambat progresifitas gagal jantung kanan, memperbaiki toleransi olahraga dan meningkatkan harapan hidup (Park MK, 2002). 2.6.5 Terapi Bedah Pembedahan sekat antar serambi jantung (atrial septostomy) yang dapat menghubungkan antara serambi kanan dan serambi kiri dapat mengurangi tekanan pada jantung kanan tetapi kerugian dari terapi ini dapat mengurangi kadar oksigen dalam darah (hipoksia). Transplantasi paru dapat menyembuhkan hipertensi pulmonal namun komplikasi terapi ini cukup banyak dan angka harapan hidupnya kurang lebih selama 5 tahun. a. Atrial septosotomi Blade ballon atrial septostomy dilakukan pada pasien dengan tekanan ventrikel kanan yang berat. Tujuan prosedur ini adalah dekompresi overload jantung kanan dan perbaikan output sistemik ventrikel kiri. Septastotomi atrial harus dilakukan pada. fasilitas yang memadai dan operator yang berpengalaman. b. Thromboenarterectomy pulmonary Menjadi pilihan pengobatan pada pasien hipertensi pulmonal yang berhubungan dengan penyakit tromboembolik kronik. Dilakukan melalui median stertonomi pada cardiopulmonary baypass. Secara keseluruhan angka kematian terus membaik dan kini kirang dari 5%. c. Transplantasi paru-paru Hipertensi pulmonal primer biasanya progresif dan akhirnya berakibat fatal. Tranplantasi paru adalah suatu pilihan pada beberapa pasien lebih muda dari 65 tahun yang memiliki hipertensi pulmonal yang tidak merespon manajemen medis. Menurut AS tahun 1997 transplantasi laporan registri, 24 penerima transplantasi paru-paru dengan hipertensi pulmonal primer memiliki tingkat ketahanan hidup dari 73 persen pada satu tahun, 55 persen di tiga tahun dan 45 persen pada lima tahun. Pengurangan langsung tekanan arteri paru-paru dikaitkan dengan perbaikan dalam fungsi ventrikel kanan. Kambuhnya hipertensi pulmonal primer setelah transplantasi paru-paru belum dilaporkan (Park MK, 2002). 2.7 Asuhan Keperawatan Teori 2.7.1 Pengkajian a. Identitas / biodata klien Nama, tempat tanggal lahir, umur bayi baru lahir dan lansia yang riwayat merokok, jenis kelamin laki-laki karena gaya hidup yang tidak sehat,riwayat penyakit PPM, agama/ suku, warga Negara, bahasa yang digunakan, dan penanggung jawab yang meliputi nama, alamat, dan hubungan dengan klien.lingkungan yang berasap seperti dekat pabrik akan menyebabkan kaps paru. b. Keluhan utama Dispnea, nyeri dada substernal c. Riwayat kesehatan sekarang Sering tidak menunjukkan gejala yang spesifik. Dispnea saat aktivitas, fatique dan sinkop, kelelahan,. d. Riwayat kesehatan dahulu Gagal jantung kiri, HIV, peny autoimun, sirosis hati, anemia sel sabit, peny bawaan, peny tiroid, PPOK, peny paru intertisial, sleep apnea, emfisema e. Riwayat kesehatan keluarga Tidak ada pengaruhnya f. Pemeriksaan Fisik 1) Pola Persepsi dan Pemeliharaan Kesehatan Pasien merasa terganggu dengan kesehatannya 2) Pola Aktivitas dan Latihan Pasien saat melakukan aktivitas mengalami kelelahan 3) Pola Istirahat Tidur Pasien tidak bisa tidur karena sesak napas 4) Pola Nutrisi atau Metabolik Umumnya pasien tidak mengalami gangguan nutrisi 5) Diit Pasien diit tinggi kalori, tinggi protein, dan rendah garam. 6) Pola Eliminasi Pasien tidak mengalami ganguan eliminasi 7) Pola Kognitif dan Perseptual Pasien tidak mengalami gangguan 8) Pola Konsep Diri Pasien mengalami gangguan pada peran diri 9) Pola Peran dan Hubungan Pasien tidak dapat beraktivitas karena terbatas dan terjadi penurunan hubungan 10) Pola Manajemen dan Koping stress Pasien akan mengalami stres karena penyakitnya menyebabkan sesak napas. 11) Pola Seksual Pasien tidak terganggu akan tetapi aktivitas seksualnya terbatas yang berhubungan dengan kelelahan. 12) Sistem Nilai dan Keyakinan Pasien tidak tergnggu, sehingga dapat melaksanakan ibadahnya. IV. Pemeriksaan Fisik 1) Kesadaran Compos Mentis GCS : 15, E4 M6 V5 2) Tanda –Tanda Vital : TD : Normal, bisa terjadi peningkatan jika oedem meningkat Nadi : Cenderung cepat RR : Meningkat Suhu : Normal 3) Head to toe - Paru I : Simetris dada, memakai otot bntu pernapasan P : Vokal fremitus getarannya seimbang, gerakan dinding dada sama P : Redup A : Ada ronkhi - Jantung I : SimetrisP ; ictus kordis teraba d ICS 4 area mid klavikula P : Pekak A : Ada suara murmur pada komplikasi ggl jntg ventrikel Kanan - Abdomen I : Tidak ada hernia umbiicus A : Bising usus anatara 5-35 P : Timpani P : Tidak ada nyeri tekan - Genetalia : Tidak ada gangguan - Rektum : Tidak ada gangguan - Ekstremitas : Terjadi penurunan kekuatan otot V. Pemeriksaan Penunjang 1) PCO2 > 45 2) PO2 < 85 3) Terapi medis 4) Terapi PPOM untuk mengatasi penyakit sebelumnya 5) Ekokardiografi 6) CT scan 7) Tes Berjalan 6 menit 8) Tes Latihan Kardiopulmonal (CPET) 9) Ro Thorak 10) Elektrokardiografi 11) Tes Vasodilator 12) Biopsi Paru 2.7.2 Diagnosis Keperawatan Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada hipertensi pulmonal antara lain: - Gangguan pertukaran gas b.d kerusakan jaringan paru - Gangguan kenyamanan nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan paru - Kelebihan volume cairan b.d edema perifer - Penurunan curah jantung b.d kerusakan ventrikular - Intoleransi aktivitas b.d kelemahan fisik 2.7.3 Intervensi 1) Gangguan pertukaran gas b.d kerusakan jaringan paru Tujuan : Tidak ada keluhan sesak atau terdapat penurunan respon sesak napas Kriteria Hasil : a) Secara subjectif klien menyatakan penurunan sesak napas b) Secara objektif didapatkan tanda vital dalam batas normal (RR 16-20 x/menit), tidak ada penggunaan otot bantu napas, analisa gas darah dalam batas normal. No Intervensi Rasional 1. Evaluasi perubahan tingkat kesadaran, catat sianosis dan perubahan warna kulit, termasuk membrane mukosa dan kuku Perubahan warna kulit, membran mukosa dapat mengindikasikan gangguan perfusi gas ke jaringan terganggu. 2. Berikan tambahan oksigen Untuk meningkatkan konsentrasi oksigen dalam proses pertukaran gas 3. Pantau saturasi (oksimetri), PH, BE, HCO3 dengan analisa gas darah Untuk mengetahui tingkat oksigenasi pada jaringan sebagai dampak adekuat tidaknya proses pertukaran gas 4. Koreksi keseimbangan asam basa Mencegah asidosis yang dapat memperberat fungsi penapasan 2) Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan paru Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, nyeri dapat teratasi Kriteria Hasil : a) Pasien mengatakan nyeri berkurang b) Skala nyeri turun c) Wajah pasien tampak rileks d) Tanda-tanda vital normal No Intervensi Rasional 1. Tingkatkan istirahat yang adekuat Istirahat dapat menurunkan tingkat nyeri 2. Lakukan manajemen sentuhan Manajemen sentuhan pada saat nyeri berupa sentuhan dukungan psikologis dapat membantu menurunkan nyeri. Massase ringan dapat meningkatkan aliran darah dan menurunkan sensasi nyeri 3. Anjurkan tindakan pengurangan nyeri untuk membantu pengobatan nyeri (misalnya, teknik relaksasi,atau distraksi) Teknik relaksasi,atau distraksi dapat mengalihkan perhatian klien dari rasa nyeri dan dapat meningkatkan produksi endorfin dan enkafalin yang dapat memblok reseptor nyeri untuk tidak dikirimkan ke korteks serebri. 4. Kolaborasi pemberian analgesik sesuai indikasi Analgesik dapat menurunkan tingkat nyeri 3) Kelebihan volume cairan b.d edema perifer Tujuan : Tidak terjadi kelebihan volume cairan sistemis Kriteria Hasil : a. Edema ekstremitas berkurang b. Produksi urine 1290 ml/hari ( SWL : 1-2 kg/bb/jam, IWL : 10-15 kg/bb/24jam) No Intervensi Rasional 1. Ukur intake dan output Penurunan curah jantung mengakibatkan gangguan perfusi ginjal, retensi natrium/air, dan penurunan output urin 2. Bantu posisi yang membantu drainase ekstremitas, lakukan latihan gerak pasif Meningkatkan aliran balik vena dan mendorong berkurangnya edema perifer 3. Kolaborasi berikan diet tanpa garam Natrium meningkatkan retensi cairan dan meningkatkan volume plasma yang berdampak terhadap peningkatan beban kerja jantung 4. Kolaborasi berikan diuretik, contoh : furosemid, sprinolakton, hidronolakton Diuretik bertujuan untuk menurunkan volume plasma dan menurunkan retensi cairan di jaringan sehingga menurunkan risiko terjadinya edema paru 3). Penurunan curah jantung b.d kerusakan ventrikular Tujuan : Penurunan curah jantung dapat teratasi dan TTV dalam batas normal Kriteria Hasil : a. Tidak ditemukan dyspnea b. Turgor kulit bagus c. Sirkulasi dan perfusi menjadi lebih baik No Intervensi Rasional 1. Istirahatkan klien dengan tirah baring optimal Istirahat dapat mengurangi kerja otot pernapasan dan penggunaan oksigen 2. Atur posisi tirah baring yang ideal. Kepala tempat tidur harus dinaikkan 20-30cm Dengan posisi kepala yang lebih tinggi dapat mengurangi kesulitan bernapas dan mengurangi jumlah darah yang kembali ke jantung yang dapat mengurangi kongesti paru 3. Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal/masker sesuai dengan indikasi Meningkatkan sediaan oksigen dapat melawan efek hipoksia/iskemia 4. Kolaborasi berikan antikoagulan, contoh heparin dosis rendah, Warfarin (Coumadin) Antikoagulan dapat mencegah pembentukan trombus/emboli perifer 4) Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, energi pasien dapat dihemat Kriteria Hasil : Pasien tidak mengalami kondisi yang abnormal setelah melakukan aktivitas No Intervensi Rasional 1. Tingkatkan istirahat, batasi aktivitas, dan berikan aktivitas senggang yang tidak berat Istirahat dapat menurunkan kerja miokardium dan konsumsi oksigen 2. Pertahankan klien tirah baring sementara sakit akut Tirah baring dapat mengurangi beban jantung 3. Pertahankan penambahan oksigen sesuai program Penambahan oksigen meningkatkan oksigenasi jaringan 2.8 Asuhan Keperawatan Kasus ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny. S DENGAN HIPERTENSI PULMONAL DI RUANG KEMUNING RSUD Dr RADEN SOEDJATI SOEMODIARDJO GROBOGAN PURWODADI Tanggal / Jam Masuk RS : 15 SEPTEMBER 2012 / 23.00 WIB Tanggal / Jam Pengkajian : 17 SEPTEMBER 2012 / 11.00 WIB Metode Pengkajian : auloanamnesa dan autoanamnesa Diagnosa medis : Hipertensi pulmonal No. Registrasi : A. PENGKAJIAN I. BIODATA 1. IDENTITAS KLIEN Nama Klien : Tn. S Jenis kelamin : Laki – laki Alamat : Sumber sari rt 02/ rw 01wirosari Umur : 37 tahun Agama : Islam Status perkawinan : Kawin Pendidikan : SD Pekerjaan : Swasta 2. Identitas Penanggung jawab Nama : Ny. M Jenis Kelamin : Perempuan Umur : 30 tahun Pendidikan : SD Pekerjaan : Ibu rumah tangga Hubungan dengan klien : Istri Tn. S Alamat : Grobogan purwodadi II. RIWAYAT KESEHATAN 1. Keluhan Utama Pasien mengeluh sesak napas. 2. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien mengatakan dirumah pasien sesak nafas sudah 2 hari,dada kiri merasakan nyeri dan tubuhnya lemah,keluarga mengira pasien hanya masuk angin setelah itu pasien dikeroki tapi keadaan pasien tidak membaik,keluarga langsung membawa kerumah sakit. Di RS pasien diberi infus dan oksigen 3. Riwayat Penyakit Dahulu Pasien mengatakan pernah dirawat di RS karena sakit PPOM 4. Riwayat Penyakit Keluarga Pasien mengatakan tidak ada keluarga atau saudara yang mempunyai penyakit atau riwayat seperti klien. GENOGRAM Keterangan : : Perempuan Meninggal : Laki - laki : Perempuan : Laki – laki Meninggal .......... : Serumah III. PENGKAJIAN POLA FUNGSI GORDON 1. Pola Persepsi dan Pemeliharaan Kesehatan Pesien mengatakan bahwa sehat itu penting. Saya sakit tidak bisa menghidupi keluarga saya, tetapi klien dulu perokok berat dan sekarang menyadari apa yang dilakukan klien salah. 2. Pola Aktifitas dan Latihan KEMAMPUAN PERAWATAN DIRI 0 1 2 3 4 Makan dan Minum √ Mandi √ Toileting √ Berpakaian √ Mobilitas di Tempat Tidur √ Berpindah √ Ambulasi √ KETERANGAN: 0: Mandiri 1: Dengan alat bantu 2: Di bantu orang lain 3: Di bantu orang lain dan alat 4: Di bantu total 3. Pola istirahat dan tidur a. Sebelum sakit Sebelum sakit pasien mengatakan tidur 8 jam/hari. 6 jam tidur di malam hari, 2 jam tidur di siang hari. b. Selama sakit Selama sakit pasien mengatakan tidur 5-6 jam/hari dengan kualitas tidur kurang nyenyak (sering terbangun) karena sesak nafas. 4. Pola Nutrisi Metabolik a. Antropometri BB sebelum sakit : 47kg BB selama sakit : 44kg TB : 170cm IMT : 14,87 b. Biochemical HB : 14/2 gr/d Lekosit : 16 – 600 / mm3 BBS I/II : 70 / 80 mm3 Segmen : 78 Limfosit : 16 Monosit : 6 Eritrosit : 5.570.000 / mm3 Trombosit : 181.000 / mm3 Gula darah sewaktu : 88 mg / dl GDA : 85 – 95 mg/dl c. Clinical Sign Rambut hitam, lurus, tidak rontok, kuat, kulit lembab, berwarna sawo matang. d. Diit Pasien diit tinggi kalori, tinggi protein, dan rendah garam. 5. Pola Eliminasi a. BAB JENIS SEBELUM SAKIT SELAMA SAKIT Frekuensi 3 x sehari 3 x sehari Konsistensi Lunak berbentuk Lunak Bau Khas Khas Warna Kuning kecoklatan Kuning tidak darah Keluhan - - Penggunaan obat pencahar - - b. BAK JENIS SEBELUM SAKIT SELAMA SAKIT Frekuensi 4 – 5 x / hari 4 -5 x / hari Jumlah Urine 200 cc 300 cc Warna Kuning Kuning jernih Keluhan - - ANALISA KESEIMBANGAN CAIRAN SELAMA PERAWATAN INTAKE OUTPUT ANALISA a. Minuman :700 cc b. Makanan :400cc c. Am : 220 a. Urine :300cc b. Feses :250cc c. IWL :660cc Intake :1320cc Output :1210cc Total :1320cc Total :1210cc Total :1100cc 6. Pola Kognitif dari Perceptual Pasien dapat berbicara dengan jelas, melihat, mendengar, dan dapat menjawab pertanyaan perawat dengan tepat. 7. Pola Konsep Diri Gambaran diri : pasien adalah seorang ayah dan mempunyai satu anak Ideal diri : Pasien optimis sembuh Peran : Pasien adalah tulang punggung keluarga Identitas diri : Pasien menyadari perannya sebagai suami dan bapak Harga diri : Pasien percaya diri dan mempunyai semangat untuk segera sembuh, karena dari keluarga memberikan motivasi yang besar. 8. Pola seksual Sebelum sakit : Pasien tidak ada gangguan dalam berhubungan seksua dengan istri Selama sakit : Pasien tidak bisa melakukan hubungan seksual dengan istri 9. Pola peran hubungan Sebelum sakit : Pasien mengatakan berhubungan baik dengan keluarga Selama sakit : Keluarga pasien dan pasien memiliki hubungan baik dengan Pasien maupun keluarga klien lain. 10. Pola Nilai dan Keyakinan Sebelum sakit : Pasien mengatakan agamanya islam dia mengerjakan sholat 3 x sehari Selama sakit : Pasien mengatakan selama sakit tidak dapat melakukan sholat seperti sebelum sakit 11. Pola Manajemen dan Koping stress Sebelum sakit : Pasien mengatakan jika mengalami stress, pasien lebih senang mengungkapkan perasaannya kepada istrinya. Selama sakit : Pasien mengatakan selama sakit hanya memikirkan kesehatannya. IV. Pemeriksaan Fisik 1. Kesadaran umum Kesadaran : Sadar TTV Tekanan darah : 120 / 70 mmHg Nadi : 110 x/menit Irama : Teratur Kekuatan : Kuat Pernapasan Frekuensi : 27 x/menit Irama : Teratur Suhu : 36,30 C 2. Pemeriksaan Head to toe a. Kepala Bentuk kepala : Bulat Pertumbuhan rambut : persebaran merata Kulit kepala : Bersih b. Muka 1. Mata Kebersihan : Bersih Fungsi penglihatan : Normal Palpebra : Tidak odem Konjungtiva : Tidak anemis Seclera : Tidak ikterik Pupil : Isokor Diameter : Simetris Reflek terhadap cahaya : Normal Penggunaan obat bantu penglihatan : Tidak 2. Hidung : Bersih, tidak ada secret, tidak ada polip 3. Mulut : Bersih, mukosa kering, sianosis,, gigi bersih, lidah berwarna merah muda. 4. Gigi : Tidak berlubang 5. Telinga : Perdengaran baik, tidak ada serumen 6. Leher : Tidak ada perbesaran, kelenjar tyroid 7. Thorax : a. Paru – paru Inspeksi : Simetris dada kanan dan kiri,menggunakan otot batu nafas,terdapat cuping hidung. Palpasi : Teraba vocal fremitus kanan dan kiri sama Perkusi : Pekak Auskultasi : Terdengar bunyi ronchi b. Jantung Inspeksi : Ictus kordis tidak tampak Palpasi : Teraba ictus kordis pada intracosta 5 Midclavikula sinistra Perkusi : Pekak Auskultasi : terdengar bunyi murmur 8. Abdomen Inspeksi : Tidak terdapat lesi, tidak ada benjolan Auskultasi : Peristaltik 15 x/menit Perkusi : Tympani Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tidak terdapat masa. 9. Anus dan Genetalia : Bersih, tidak terpasang kateter 10. Kuku dan Kulit : Warna sawo matang, suhu 36,30 C, turgor kulit baik, capillary refill ˂ 3 detik 11. Ekstremitas a. Atas Kekuatan otot kanak dan kiri : Baik/Norrmal ROM kanan dan Kiri : Baik /Normal Perubahan bentuk tulang :Tidak ada perubahan bentuk tulang Peraban akral : Normal tidak dingin Pitting edema : Terdapat piting oedem Terpasang infuse : Pada tangan sebelah kanan b. Bawah Kekuatan otot kanan dan kiri :4 ROM kanan dan Kiri : Baik/normal Perubahan bentuk tulang : Tidak ada perubahan bentuk tulang Varises : Tidak ada varises Perabaan akral : Normal akral tidak teraba dingin Pitting edema : Terdapat pitting edema 12. Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang 1. Hematologi Jenis Hasil Satuan Nilai Normal Analisa Hb 14,2 gr/d (L : 14-18, P : 12-16) Normal Leukosit 16 – 600 mm3 4000 – 10.000 Tidak normal BBS I/II 70 / 80 mm3 10 – 20 Tidak normal Segmen 78 - 23 – 70 Tidak normal Limfosit 16 - 25 – 40 Tidak normal Monosit 6 - 2 – 6 Normal Eritrosit 5.570.000 mm3 4,5 – 5,5 juta Tidak normal Trombosit 181.000 mm3 150.000 – 500.000 Normal 2. Kimia Klinik Gula darah sewaktu 88 mg/dl (74 – 110) 3. RO. Thorax Hasil : 4. Terapi Medis Furosemit 2x50mg IV Drip aminofilin 2x10mg IV Nebul ventolin+flexotel 2x1 Ceftrilaxon 3xsehari B. Analisa Data Nama : Tn. S No. CM : Umur : 37 tahun Diagnosa : No Hari / Tgl Jam Data Fokus Problem Etiolgi TTD 1. Senin/17 September 2012 11.00 wib DS: - Pasien mengatakan sesak nafas. DO: -tampak sianosis di bibir - RR : 27x/menit -GDA = PCO2 = 42 -Terdengar bunyi napas ronchi -terdengar suara murmur dijantung Gangguan pertukaran gas Gangguan aliran udara ke alveoli 2. Senin/17 september 2012 11.00 wib DS:- -Pasien mengatakan nyeri dada DO:- -Pasien tampak lemas -terdapat hasil EKG abnormal -HR : 110x/menit Nyeri dada Spasme otot koroner DIAGNOSA KEPERAWATAN Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada kasus hypertensi pulmonal primer/idiopatik antara lain : 1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan adanya gangguan aliran udara ke alveoli 2. Gangguan rasa nyaman nyeri dada berhubungan spasme arteri koroner C. Implementasi No. Dx Hari/Tgl Jam Implementasi Respon Ttd 1 Selasa, 18 September 2012 11.00 wib Memberikan terapi oksigen 3liter ,mencatat frekuensi dan kedalaman pernafasan, penggunaan alat bantu S : Pasien mengatakan sesak napas berkurang. O : RR : 27x/menit 1 Selasa,18 september 2012 13.00wib mengauskultasi untuk penurunan/ tak adanya bunyi nafas dan adanya bunyi tambahan S : pasien mengatakan bersedia O : terdengar suara ronchi. 1 Selasa,18 September 2012 16.0 wib Mengobservasi keabu-abuan menyeluruh dan sianosis pada daun telinga, bibir dan lidah S : Pasien mengatakan badan terasa lemas O: Pasien terlihat Sianosis pada bibir 3 Selasa, 18 September 2012 19.30 wib Memberikan posisi semifowler S : Pasien mengatakan dibuat berbaring terasa semakin sesak. O:Pasien tampak rileks 3 Selasa, 18 September 2012 20.00 wib -mengkaji TTV S : pasien bersedia O : TD : 120/70 S : 36.7 HR : 80x/menit 3 Rabu, 19 September 2012 10.00 wib - Menganjurkan klien untuk tidur siang S : Pasien mengatakan bersedia untuk tidur siang O : Pasien kooperatif 2 Rabu, 19 september 2012 13.00 wib menganjurkan pasien untuk memberitahu perawat dengan cepat bila terjadi nyeri dada S : Pasien mengatakan bersedia O : Pasien tampak mengerti 2 Rabu, 19 september 2012 13.30 wib memberikan makanan yang lembut, biarkan pasien istirahat selama satu jam setelah makan S : - O : Pasien tampak Mengikuti perintah 2 Rabu, 19 September 2012 13.30 wib memantau perubahan seri EKG S : - O:masih terdapat perubahan EKG yang abnormal Rabu, 19 September 2012 18.30 wib mempertahankan lingkungan yang tenang dan nyaman S : pasien mengatakan sudah nyaman O : pasien tampak tenang D. Evaluasi No. Dx Hari/ Tgl Jam Evaluasi Paraf 1 Rabu, 19 September 2012 09.00 wib S : Pasien mengatakan sesak nafas berkurang O : RR 24x/menit, A : Masalah belum teratasi P : Pertahankan intervensi 2 Rabu, 19 September 2012 09.00 wib S :Pasien mengatakan tidak nyeri dada O : Pasien tampak rileks A : masalah teratasi P : Pertahankanintervensi BAB 3 KESIMPULAN 1.1 Kesimpulan Hypertensi Pulmonary atau yang biasa disebut Hipertensi Paru merupakan kondisi yang tidak terlihat secara klinis sampai pada tahap lanjut kemajuan penyakitnya. Penyakit ini ditandai dengan peningkatan tekanan darah pada pembuluh darah arteri paru-paru lebih dari 30 mmhg yang menyebabkan sesak nafas, pusing dan pingsan pada saat melakukan aktivitas. Hipertensi pulmonal dibagi menjadi 2 yaitu hipertensi primer dan sekunder. Penyebab hipertensi pulmonal seperti PPOM, obesitas, emboli, ASD, VSD dll. Untuk mengetahui tekanan ventrikel kanan dengan paru dapat dilakukan pemeriksaan kateterisasi jantung.komplikasi dari penyakit ini dapat mengakibatkan gagal jantung kanan. DAFTAR PUSTAKA 1. Barst RJ. Recent advances in the treatment of pediatric pulmo-nary artery hypertension. Dalam: Berger S, Davis C, penyunting. The pediatrics clinics. Edisi ke-2. Philadelphia: W.B. Saunders Company, 1999. h. 331-46. 2. Park MK, Troxler RG. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi ke-4. Philadelphia: Mosby, 2002. h. 417-26. 3. Walditz A, Barst RJ. Pulmonary arterial hypertension in chil-dren. Eur Respir J 2003;21:155-76. 4. Oudiz RJ. Pulmonary hypertension, primary. [diakses 25 November 2012]. Diunduh dari: URL: www.emedicine.com/med/topic1962.htm. 5. Sharma S. Pulmonary hypertension, secondary. [diakses 12 Maret 2007]. Diunduh dari: URL: www.emedicine.com/med/topic2946.htm.

Text Box: PATHWAY
 






                                                                                                                                                                            
Text Box: SEKRET : MUCO PURULEN
 


Text Box: KEDUA MATA IRITASIText Box: GATALText Box: PURULENText Box: SEKRET : SEROUS ( + )